novel Catatan Hati Seorang Isteri

Catatan Hati Seorang Isteri

Sementara Mami hanya menatap sayang kepada saya dan menjawab hati-hati,

“Mami takut kamu lagi susah.”
Bukan hanya perkara uang yang membuat saya haru, tetapi bagaimana Mami mencatat kebaikan, sedikit apapun dari anak-anaknya dengan rasa syukur yang luar biasa.

“Rani itu anak istimewa,” cetusnya suatu hari ketika seorang wartawan dari Bandung mewawancarai saya dan kebetulan menemukan sosok Mami.

Dan Mami pun menjelaskan panjang lebar kepada si wartawan, betapa anaknya yang bernama Rani itu selalu prihatin sejak kecil dan tidak pernah melawan orang tua.

“Sampai besar pun dia tidak pernah menyakiti hati saya,”
lanjut Mami lagi.

Apakah anaknya nomor dua itu tidak pernah berbuat salah?

“Bagaimana dia sempat menyakiti atau bikin dosa kepada, saya jika sehabis bertemu selalu mencium tangan dan minta maaf? Coba bayangkan, orang gajian misalnya, kan wajar jika ada keterlambatan. Tetapi Rani jika memberikan bulanan misalnya terlambat satu atau dua hari, pasti dia sms atau telepon, kasih tahu dan meminta maaf.

Itu sebabnya… bagi saya dia anak istimewa.”

Allah…
Saya mendengar cerita itu dari Mami di taksi, setelah saya bertanya sebenarnya apa saja yang Mami obrolkan dengan si wartawan.

Saya geleng-geleng kepala dengan ‘anak istimewa’ yang Mami bicarakan. Julukan itu sungguh tidak pantas saya sandang. Sebagai manusia kesalahan saya bertumpuk, sebagai anak, saya masih belum bi sa membalas kebaikan orang tua.

Saya tatap Mami lekat-lekat dalam sisa perjalanan, dengan hati mengucap doa:

Semoga Allah mencatat setiap pengorbanan, setiap rasa syukur, setiap keikhlasan Mami dan memberinya kebaikan yang berlimpah. Allahumma Amin.
Setelah 11 tahun
“Tahukah cinta, betapa tampan dan berseri-serinya wajahmu malam itu? Saat kau meminta maaf berulang-ulang.”

Apa yang Disa kukatakan tentangmu?

Suamiku yang bertanggung jawab.

Lelaki pengertian, yang selalu memperlakukan istri, anak, orang tua, sanak saudara dan tetangga-tetangganya dengan amat baik.

Engkau mengajariku hidup apa adanya.

“Jangan pernah lupa mensyukuri nikmat,” nasihatmu berulang kali.
Engkau juga yang mengajariku untuk tidak mempermasalahkan hal-hal yang kecil.

Sebelas tahun menikah, sulit bagiku untuk mencari kekuranganmu, sebaliknya harus kukatakan begitu banyak pelajaran yang kau ajarkan padaku, dengan sayang…
dengan cinta.

Sebelas tahun, mungkin cukup lama menurut orang, tapi masih terlalu singkat untukkku. Dan selama sebelas tahun ini tidak sedetikpun perasaanku terhadapmu berubah. Jika saja boleh dan tidak diledek oleh para ABG, akan kuteriakkan perasaanku pada dunia:
Kau pujaanku, tambatan hatiku.
Panutanku, kebanggaanku,
Pahlawanku…

Kau, yang selalu mengalirkan kekuatan dalam setiap denyut nadiku.

Kekuatan yang kini coba kutemukan, dalam kesendirian, dengan membayangkan sosokmu.

Tahukah cinta, betapa tampan dan berseri-serinya wajahmu malam itu? Saat kau meminta maaf berulang-ulang. Awalnya kukira permintaan maaf itu karena keterlambatan pulang. Sebab kau masuk rumah ketika jam berdentang dua kali di pagi hari. Selepas melawat salah satu tetangga kita yang ibu nya baru saja meninggal.

“Maafkan ayah, Bu. Maafkan ayah…” Cinta, harusnya kau tahu betapa aku selalu mempercayaimu.Sebab tidak pernah ada kesalahanmu yang terlalu besar untuk kurnaafkan. Tapi seolah tak yakin, kau masih mengulang-ulang kalimat yang sama hingga tiga kali, Suaramu terdengar amat bersungguh-sungguh sambil memeluk dan mencium keningku. Meski tidak mengerti kuanggukkan kepala, dan mengingatkanmu jika belum shalat isya.

Aku masih ingat bagaimana kau langsung bangkit dan melaksanakan shalat. Setelahnya kau kembali memeluk dan menciumku, sembari mengulang-ulang permintaan maaf.

Ah, kesalahan apa yang harus kumaafkan, Cinta?

Tapi kubiarkan kau memelukku erat hingga beberapa lama. Kutatap wajahmu yang tampak bercahaya. Dari lisanmu terlempar kalimat itu sekali lagi,

“Maafkan, ayah…”

Setelah kalimat itu kau sempat menyebut asma Allah lirih, sebelum terdiam. Hanya suara dengkuran lambat-lambat yang terdengar, kemudian kepalamu jatuh di bahuku.

Seharusnya aku mengerti. Maafkan aku yang mengira kau hanya tertidur pulas karena kecapekan. Sempat kubiarkan kau tertidur menelungkupiku. Tetapi karena merasa berat, aku coba rnernbangunkanmu agar berpindah ke sisiku.

“Ayah, bangun sayang…”
Tapi hingga berulang-ulang tubuhmu tetap bergeming. Kaku dalam pelukanku. Ketika akhirnya berhasil memindahkan tubuhmu ke samping, aku mulai panik.

Kugoyang-goyangkan badanmu, tapi tak ada reaksi.
Panikku bertambah saat kaki dan tanganmu terasa dingin, hanya badanmu yang masih hangat.

Dalam keadaan bingung dan perasaan bercampur aduk, kupanggil kedua orangtuaku yang tidur di ruangan sebelah, kuminta mereka melihat keadaanmu. Tangis mulai tumpah.

Aku bahkan sempat menjerit histeris melihat tubuhmu yang terbaring kaku. Meski dengan cepat aku beristighfar…
berharap kau cuma pingsan, atau sengaja bercanda dengan berpura-pura pingsan. Kuyakinkan diri bahwa sebentar lagi kau akan bangun dan tersenyum padaku.
Orang-orang mulai datang. Sebagian memang berasal dari rumah tetangga kita yang baru kau jenguk,mereka yang mengaji dan melawat sampai pagi. Seperti aku, mereka coba menyadarkanmu dengan berbagai cara. Sementara kau terbaring tak ubahnya seseorang yang tertidur pulas karena lelah, bahkan masih terselip senyuman di wajah.

Perasaanku semakin tak menentu. Limbung. Kudengar orang-orang bertanya jika aku ingin memanggil dokter atau membawamu ke rumah sakit.

Aku mengangguk, tak sepenuhnya mengerti, meski dalam hati aku mulai memohon: Cinta, jangan pergi…Jangan sekarang!

Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, aku masih berharap kau hanya pingsan. Tetapi kenyataan berkata lain.

Setelah sampai dan dilakukan pemeriksaan yang teliti, dokter mengucapkan kata-kata yang seolah menggodam kepalaku dengan keras.

Badanku luluh lantak. Persendianku terasa copot. Jantungku bagai berhenti berdenyut.

“Maaf, bu. Kami tidak bisa menolongnya.”
Masya Allah!

Hatiku terasa hancur berkeping-keping. Sebelas tahun perkawinan kita Cinta, dan inilah ujian terberat untukku.

Kepergianmu…

Kupeluk kedua putri kita yang histeris melihatku menangis. Aku sendiri berusaha keras untuk tetap berpijak pada ambang kesadaran, bahwa kau telah dipanggil Sang Pencipta. Aku peluk kedua putri kita lebih erat. Sungguh, jika tidak karena mereka, mungkin aku sudah putus asa, atau hilang kewarasan.

Kepergianmu yang tiba-tiba, bagaimana bisa?

Usiamu baru 40 tahun, sehat dan tidak kurang apa pun sebelumnya.

Hari itu Jumat, tepat pukul 3 pagi. Saat kau pergi meninggalkan aku dan dua putri kita yang masih membutuhkan perhatianmu.

Cinta…

Sampai saat ini aku masih sering tidak percaya jika kau benar-benar sudah pergi. Meninggalkan Tari gadis kita yang manis yang baru duduk di kelas 5 Sekolah Dasar, dan Hana yang baru berusia 6 tahun.

Aku tahu, untuk mereka berdua aku harus kuat dan berjuang. Tetapi beratnya Cinta, betapa beratnya harus melakukan itu semua sendiri, tanpamu.

Alhamdulillah semua prosesi pemakaman berjalan lancar. Banyak sekali orang yang melayat, rnenyolatkan di masjid, hingga mengantar ke kuburan. Hingga detik ini aku tidak pernah berhenti mengenangmu, Cinta. Mengenang perjalanan singkat kebahagiaan kita. Memang kehidupan kita sederhana dan tidak melimpah dengan harta. Tetapi nyaris tak pernah terjadi perselisihan di antara kita. Sebaliknya begitu banyak hari di mana kau dan aku mensyukuri kebersamaan kita, juga karunia Allah berupa dua putri yang membanggakan.